Sabtu, 27 Desember 2008

Catatan kecil buat Sudaryono

Tsunami, satu kata yang begitu lekat dibenak masyarakat kita, tatkala gelombang raksasa itu meluluhlantakkan aceh, minggu 26 Desember 2004. Bahkan Tsunami menjadi semacam fobia setelah tayangan televisi manayangkan rekaman terjangan tsunami dengan gelombang yang tinggi, hitam pekat berarus deras hasil rekaman kamera amatir pada peristiwa itu. Gempa bumi di Jogja,27 Mei 2006 membuktikan ketakutan itu , betapa masyarakat jogja dan saya sekeluargapun ikut panik melarikan diri ke arah utara Yogyakarta, ketika isu tsunami dari pantai selatan berhembus pasca gempa tektonik tersebut. Peristiwa tsunami di Aceh, mengingatkan saya pada sosok Sudaryono, sahabat karib teman satu angkatan 87 sewaktu kuliah di FK UNS. Kabar hilangnya Sudaryono saya terima dari Eka Prasetya, teman dari Cirebon, dua tahun lalu, yang waktu itu masih mengambil program PPDS Obgyn Di Yogya. Tersentak, kaget dan merasa tak percaya mendengar penuturan Eka tentang musibah yang menimpanya, kebetulan waktu kejadian Sudaryono (anggota Polri) yang beristrikan wanita tanah rencong itu ditugaskan di Banda aceh, beberapa saat setelah kejadian Eka berusaha mengontak melalui Hp tetapi tidak ada jawaban, hingga minggu, bulan dan tahun berganti tetap tidak ada khabar yang diterima, Eka bertutur bahwa sehari sebelum kejadian dia masih sempat berkomunikasi dengan Sudaryono via Hp menggunakan nomor yang sama.Data dari Dephan menyatakan sebanyak 612 personil polisi serta Pengawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan kepolisian Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dinyatakan tewas dan hilang dalam peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami 26 Desember lalu. Inna Lillahi wa Inna Illaihi Rojiun, Allah yang memiliki jiwa dan raga, kita wajib pasrah menerima takdirnya, kalimat itu begitu khidmatnya terucap dalam hati, berpasrah diri menyerahkan nasib karib saya di haribaan Illahi. Sosok Sudaryono yang saya kenal sangat bersahaja, dengan sifat nggak neko-neko, sederhana namun penuh perhatian terkesan sedikit sok akrab kepada orang yang baru dikenalnya, jika berjumpa selalu menjabat tangan dan menanyakan khabar . Kami sempat satu lingkungan kost di penumping, sekitar Masjid Istiqomah, bersama Latief, Yamsun, Eka, Bakri dan Hari Pratono. Alasan kami memilih lokasi penumping kurang lebih sama, mencari "penyeimbang diri", yaitu siraman rohani, sedikit keluar dari rutinitas perkuliahan dan per"koas"an yang menjemukan. Sebagai anak kost pada waktu itu, ada kegembiraan yang datang tatkala bulan ramadhan tiba, berbuka , makan malam dan sahur selalu kami dapatkan dari masjid. Sehingga satu bulan penuh uang saku kami utuh, Alhamdulillah, kebersamaan itu masih membekas di hati hingga saat ini. Sudaryono bagi saya bukan hanya teman yang baik dan perhatian tetapi juga dia seorang yang sabar mendengarkan perdebatan-perdebatan diantara teman-temannya, dan berusaha mencairkan jika terjadi "debat kusir". Banyak sekali kenangan yang rasanya ingin saya tuangkan dalam tulisan mengingat Sudaryono, hingga mengawalinya terasa sulit. Hingga saat ini terkadang saya mengharapkan adanya khabar dimana Sudaryono berada. Selamat jalan kawan, semoga Allah SWT menempatkanmu di Jannah, syahid memperjuangkan hidup di belantara tsunami....... Kami kehilangan engkau...sahabat....

Tidak ada komentar: